1:53:00 PG

ISLAM DAN SEKULARISME

AL-ATTAS DAN AL-QARDHAWY: TENTANG ISLAM DAN SEKULARISME
(Jawaban tegas dua ilmuan Islam komtemporer)
Oleh: Dr. Ugi Suharto

Pada tahun 1978 Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah menerbitkan sebuah buku dalam bahasa Inggeris yang berjudul Islam and Secularism. Karya ini telah mendapat sambutan yang luas di dunia Islam dengan terdapatnya terjemahan di dalam berbagai bahasa dunia termasuk bahasa Arab, Turki, Farsi, Urdu, Hindi, Malayalam, Indonesia, Bosnia, dan Albania. Gema kandungan karya ini yang menegaskan bahwa Islam menentang gagasan sekular turut disuarakan oleh seorang ilmuwan Islam yang lain, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi menerusi karyanya al-Islam wa al-'Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin yang terbit terkemudian, yaitu sekitar tahun 1987. Kedua-dua ilmuwan Islam ini sama-sama sependapat bahawa sekularisme adalah bertentangan dengan Islam. Kesejajaran pemahaman ini, yang dikumandangkan oleh dua orang bijaksana Islam yang berwibawa lagi dithiqahi keilmuannya, memberikan kekuatan dalam pemikiran kepada kaum Muslimin pada hari ini untuk terus mempertahankan diri dari terumbang-ambing dengan gagasan sekularisasi dan sekaligus melawan balik gagasan yang akan merusakkan agama Islam, sebagaimana ia pernah merusakkan agama yang lain dalam sejarahnya.

Istilah sekularisme dan terjemahannya kedalam bahasa Arab 'ilmaniyyah atau 'almaniyyah turut menjadi perhatian kedua-dua ilmuwan ini. Dikalangan orang Arab sendiri ada orang yang menterjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah, iaitu dari akar kata al-'ilm (ilmu) yang mendapat akhiran 'alif' dan 'nun' serta "ya'" yang menunjukkan sifat kepada ilmu, seperti pada perkataan ruh yang menjadi ruhaniyyah atau rabb yang menjadi rabbaniyyah, maka 'ilm menjadi 'ilmaniyyah. Sebahagian yang lain pula menterjemahkannya sebagai 'almaniyyah yang berasal dari perkataan al-'alam (alam), walaupun dari akar kata ini sepatutnya ia menjadi perkataan 'alamaniyyah, namun yang umum digunakan adalah istilah 'almaniyyah. Al-Qaradawi lebih cenderung kepada 'ilmaniyyah, sedangkan al-Attas lebih kepada 'almaniyyah. Perbedaan penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahawa istilah sekularisme yang cuba diterjemahkan kedalam bahasa Arab memang tidak mempunyai akar yang kokoh dalam pandangan hidup Islam. Perlu disebutkan juga bahwa kedua-dua ilmuwan kita menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas.

Al-Qaradawi misalnya menyatakan bahwa menterjemahkan sekularisme sebagai 'ilmaniyyah adalah bukan saja "satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)", tetapi juga "satu terjemahan yang tidak betul (ghayru sahihah)," karena "perkataan [sekularisme] itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan lafaz al-'ilm (ilmu) dan akar katanya." Beliau menambahkan lagi bahawa "terjemahan perkataan asing dengan lafaz 'ilmaniyyah ini disebabkan oleh orang-orang yang menterjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-'ilm melainkan hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan." Al-Qaradawi selanjutnya menyimpulkan bahawa menterjemahkan sekularisme dengan 'ilmaniyyah dan mengkaitkannya dengan ilmu adalah "suatu usaha untuk menjadikannya satu makna dengan istilah 'ilmiyyah." dan karenanya, menurut al-Qaradawi, adalah "penipuan yang (patut) dikemukakan".

Seiring dengan al-Qaradawi, al-Attas telah pun jugamengaitkan proses penterjemahan itu dengan gagasan Kristian Barat dan para penterjemah mereka. Namun bukan hanya itu, al-Attas bahkan menyesalkan terjemahan itu dibenarkan beredar dikalangan kaum Muslimin Arab pada hari ini.

This translation of the term and its various grammatical forms, in the sense understood by the Western Christian Church and its Christian Arab translators, has been allowed to gain currency in contemporary mainstream Islamic Arabic, despite the clear fact that it has no relevance whatsoever to Islam and to the Muslim ummah.

Apa yang disifatkan oleh al-Qaradawi sebagai penipuan diakui juga oleh al-Attas sebagai suatu usaha penyebaran gagasan pemisahan dalam pemikiran kaum Muslimin secara halus.

I strongly believe with sound reason that the arabization and introduction of the ambivalent concept of 'almaniyyah into mainstream contemporary Arabic is largely responsible for insinuating into the Muslim mind the dichotomous separation of the sacred and the profane, creating therein the socio-political notion of an unbridgeable gap separating what it considers to be a 'theocratic state' from a 'secular state.'

Al-Attas menekankan pentingnya penggunaan istilah yang betul dalam bahasa. Menurut al-Attas, bahasa mencerminkan "ontology". Oleh sebab itu, penggunaan istilah yang salah dalam berbahasa bukan sahaja memberi makna yang salah dalam bahasa itu sendiri, tetapi juga akan merusak cara berfikir orang yang berbahasa. Lebih-lebih lagi, apabila istilah yang salah itu terkait dengan perkara-perkara yang fundamental dalam kehidupan, seperti tentang Tuhan, agama, nilai, pandangan hidup, dan sebagainya, maka hal itu akan merusak cara berfikir seseorang mengenai hakikat kewujudan dan kebenaran. Oleh kerana wahyu itu sendiri disampaikan menerusi bahasa, maka kerusakan makna konsep-konsep yang berdasarkan wahyu, dengan sendirinya akan merusakkan wahyu itu sendiri.

Al-Attas selanjutnya menelusuri asal-usul perkataan sekularisme. Walaupun al-Qaradawi juga membahas etimologi sekularisime, namun uraian al-Attas mengenai etymology sekularisme lebih mendalam dan lebih terperinci. Al-Qaradawi yang menulis dalam bahasa Arab hanya menyandarkan perkataan sekularisme berasal dari perkataan Inggeris secularize dan istilah Perancis laïque, sedangkan al-Attas yang menulis dalam bahasa Inggeris menyandarkan perkataan itu dari bahasa Latin, yang menjadi sumber kepada bahasa Inggeris itu sendiri. Menurut al-Attas, istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang mempunyai pengertian time (masa) dan location (tempat atau kedudukan). Saeculum berarti masakini di sini, yang mana masakini berarti masa sekarang, dan di sini pula bermaksud kepada di dunia ini. Jadi faham sekular, menurut al-Attas, merujuk kepada makna dan faham "kedisinikinian". Oleh itu kalaulah perkataan sekularisme itu ingin diterjemahkan juga kedalam bahasa Arab, maka terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berdasarkan kepada dua perkataan Arab; huna yang bermaksud di sini dan al-an yang bermaksud kini. Jadi al-hunalaniyyah adalah faham "kedisinikinian" yang tercermin dalam istilah secularism.

Berdasarkan penelitian etymology itu, al-Attas menyimpulkan bahwa terjemahan sekularisme ke dalam bahasa Arab sebagai 'almaniyyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian ide itu sendiri yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi'iyyah yang mempunyai kaitan dengan aliran positivisme.

Kesimpulan beliau adalah: 'Almaniyyah, then, cannot be a description of 'secularism'; as it seems to me nearer to the truth to describe it as waqi'iyyah in view of its close conceptual connection with the philosophical ideology of positivism.

Jadi istilah al-waqi'iyyah menurut al-Attas lebih mendekati pengertian faham sekular itu sendiri. Namun menurut al-Qaradawi, yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-'ilm (ilmu) dan al-din (agama) dalam konsepsi pemikiran dan pengalaman orang Barat, pengertian sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-dunyawiyyah (dunia tiada hubungan dengan agama). Beliau yang juga tidak menghuraikan asal-usul perkataan sekularisme secara terperinci kemudiannya menerjemahkan konsep sekularisme sebagai berikut:

Terjemahan yang betul untuk perkataan ini [yaitu sekularisme] adalah alladiniyyah atau al-dunyawiyyah. Hal ini bukan bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata, tetapi [sekularisme] mempunyai makna yang lebih khusus, yaitu makna yang tidak mempunyai hubungan dengan agama (al-din), ataupun kalau ada hubungannya dengan agama, maka hubungan itu adalah hubungan pertentangan.

Namun mengenai hubungan agama dan sekularisme, al-Qaradawi tetap mengakui teori kebebasan agama yang dianut oleh sekularisme, walaupun definisi kebebasan agama itu tidak sesuai untuk Islam. Al-Qaradawi berkata: Sekularisme liberal tidak melarang umat manusia untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Karena sekularisme jenis ini punya prinsip "mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia". Ini adalah haknya yang telah diakui oleh piagam internasional dan telah dijalani oleh undang-undang baru. Minimal dari segi teori. Tetapi di 'negeri Islam', Islam tidak merasa puas akidahnya hanya sebatas diperkenankan untuk diyakini.

Mengenai ide 'dunyawiyah' pula al-Qaradawi tidak memberikan apa-apa ulasan. Berbeda dengan al-Qaradawi, al-Attas mengomentari lebih lanjut mengenai makna sekular dan kaitannya dengan kehidupan dunia, sbb: If the nearest equivalent were to be found in Islam to the concept secular, then it would be that which is connoted by the Quranic concept of al-hayat al-dunya: 'the worldly life'. . . The Holy Qur'an only warns of the distracting and the ephemeral nature of life in the world. The warning emphasis in the concept of al-hayat al-dunya is the life in it, not the world, so that the world and nature are not demeaned as implied in the concept secular. That is why I said that al-hayat al-dunya is the nearest equivalent to the concept secular, because in actual fact there is no real equivalent concept in the worldview if Islam projected by the Holy Qur'an.

Jadi, penjelasan al-Qaradawi tentang sekularisme masih umum, sedangkan al-Attas lebih memerinci lagi yang menyimpulkannya sebagai ide yang lebih dekat dengan ideologi positivisme yang memang bertentangan dengan Islam. Pertentangan ideologi ini terjadi karena positivisme menyatakan bahwa wujud di alam ini hanyalah fakta (dalam arti physics) dan tidak ada makna disebalik fakta (metaphysics), sedangkan bagi pandangan alam Islam, selain mengakui adanya faktadunia ini, masih ada lagi makna yang lebih besar yang bahkan mendasarinya, yaitu alam ruhani dan alam ukhrawi.

Sekalipun konsep sekularisme boleh didekatkan pengertiannya dengan gagasan waqi'iyyah, yang oleh al-Qaradawi diistilahkan sebagai faham dunyawiyyah, sebagai akibat berbedanya pandangan alam Islam dan ide sekularisme, maka al-Attas menguraikan lebih mendalam lagi dengan mengatakan bahawa istilah sekularisme itu lebih baik tidak diterjemahkan kedalam bahasa Arab, demi menghindari kekeliruan dikalangan kaum Muslimin itu sendiri. Beliau mengambil contoh akan sifat hati-hati para ulama Islam yang terdahulu yang tidak menerjemahkan konsep-konsep asing yang bersumber dari pandangan alam Yunani kedalam bahasa Arab Islam ketika itu. Perkataan-perkataan seperti falsafah, sufasta'iyyah, hayula, dan lain-lain, tidak diterjemahkan tetapi hanya dikekalkan ejaannya. Jadi, dalam pandangan al-Attas, lebih bijaksana jika istilah Inggeris secular diubah tulisannya (to transcribe) menjadi sikular daripada menerjemahkannya menjadi 'almani ataupun 'ilmani. Beliau mengusulkan: So it would be better if the term 'secular' were just transcribed into Arabic spelled sin-ya'-kaf-lam-ra', with kasrah to sin; dammah to kaf; and fathah to lam. In this way we would know at once that the term and the concept is not Islamic Arabic. To arabize such terms and concepts is to introduce confusion in our minds, because that will give the impression that they are natural to Islam and would encourage Muslims not only to think in those terms and concepts, but to actualize such thought that are alien and opposed to Islam into concrete reality.

Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa al-Attas dan al-Qaradawi sama-sama tidak menyetujui terjemahan sekularisme sebagai 'almaniyyah atau 'ilmaniyyah. Bagi al-Attas konsep sekularisme itu tidak ada terjemahan yang tepat di dalam bahasa Arab. Menurut beliau kalaupun ada aspek-aspek persamaannya maka konsep itu lebih mendekati faham waqi'iyyah yang mempunyai kaitan dengan faham positivisme yang lahir di Barat. Sementara bagi al-Qaradawi, ide sekularime itu ada terjemahannya yang tepat dalam bahasa Islam, iaitu faham ladiniyyah atau dunyawiyyah. Oleh karena itu, al-Qaradawi meningatkan kaum Muslimin supaya berhati-hati dalam menggunakan istilah berkenaan dan mengemukakan penipuan disebaliknya. Al-Attas di sisi lain mengusulkan supaya sekularisme lebih baik diubah tulisannya menjadi sikulariyyah, dan tidak diterjemahkan, demi menghindari kerancuan berfikir kaum Muslimin yang menggunakan istilah itu sehingga memerlukan penjelasan yang panjang untuk memperbetulkannya. Namun sayangnya apabila buku beliau Islam and Secularism diterjemahkan semula baru-baru ini ke dalam bahasa Arab, judul yang digunakan masih juga al-Islam wa al-'Almaniyyah. Ini menunjukkan bahwa istilah itu memang sudah tersebar luas dikalangan orang Arab, dan diakui sendiri oleh al-Attas dalam mukaddimah edisi Arab ini dengan katanya; Penggunaan perkataan 'almaniyyah sebagai terjemahan perkataan Inggeris secularism pada buku ini adalah sebagai akibat dari ketiadaan perkataan yang sesuai dalam bahasa Arab. Lebih-lebih lagi sekarang perkataan 'almani telah menjadi perkataan yang beredar dan diterima, yang apabila dikemukakan penggantinya hal itu memerlukan kepada penjelasan dan pemaparan yang panjang. Dan itulah yang diharapkan dari buku ini untuk menanganinya.

Berangkat dari latar belakang falsafah yang melahirkan faham sekularisme, selanjutnya al-Attas dan al-Qaradawi sama-sama sepakat bahwa pemikiran secular telah dimulakan menerusi pemikiran Aristotle, salah seorang filosof Yunani klasik, yang beranggapan bahwa Tuhan itu jauh dan terpisah dengan alam. Al-Qaradawi menyatakan: Saya telah jelaskan dalam kajian saya bahwa sekularisme di Barat mempunyai landasan pemikiran falsafahnya semenjak zaman Aristotle yang memandang bahwa Tuhan tidak mempunyai hubungan dengan alam, tidak mengetahui sesuatu di alam ini, dan tidak mengurusnya

Dalam hal ini, al-Attas juga menjelaskan secara lebih terperinci bahwa: This philosophic and scientific process which I call 'secularization' involves the divesting of spiritual meaning from the world of nature, the desacralization of politics from human affairs, and the deconsecration of values from the human mind and conduct, both the last two mentioned following logically from the first, which in my opinion found initial movement in the experience and consciousness of Western man in the philosophical foundations laid down chiefly by Aristotle himself.

Saya berpendapat bahwa kesimpulan bahwa Aristotle adalah yang memulakan pemikiran sekularisme, menunjukkan kesejajaran pemikiran dari dua ilmuwan Islam, yang mana sebelum ini tidak ada tokoh semasa yang berkesimpulan sedemikian. Walaupun begitu, terdapat perbedaan penekanan selanjutnya dari kedua-dua ilmuwan ini. Al-Attas di satu sisi memfokuskan pada implikasi epistemic dan pemikiran dari filsafat Aristotle, sedangkan al-Qaradawi memfokuskan pada kesan politik dan pelaksanaannya. Al-Attas menguraikan hubungan Aristotelianism dan implikasinya kepada pemikiran yang dikotomis antara science dengan agama (dalam hal ini Kristen) yang akhirnya memunculkan gagasan renaissance dan enlightenment dikalangan orang-orang Barat, sedangkan al-Qaradawi pula menekankan bahwa ide Aristotle mengenai pemisahan Tuhan dengan alam yang mengakibatkan pemisahan antara gereja dan negara.

Kesan epistemic yang dibahas oleh al-Attas sebenarnya tidak mengesampingkan kesan politik, seperti terlihat dalam petikan "desacralization of politics" di atas, kerana menurut beliau kesan politik itu hanyalah akibat dari kesan epistemic yang terjadi. Di peringkat desacralization of politics bermakna "the abolition of sacral legitimation of political power and authority, which is the prerequisite of political change and hence also social change allowing for the emergence of the historical process," atau dengan perkataan lain "dari sisi politis, setiap manusia bebas untuk memegang tugas pimpinan tanpa kewibawaan dari alam ruhani." Hasil dari kekalahan agama Kristian dalam bidang pemikiran, terutama serangan dari Aristotelianism, maka agama Kristian telah membagi kuasa menafsirkan alam dan menafsirkan kitab suci yang tanpa mempunyai hubungan satu sama lain.

When Aristotle introduced Greek philosophy to the Roman world where Christianity was later to formulate and establish itself as the religion of the Roman Empire and of the West, this pure rationalism and concomitant naturalism, stripping nature of its spiritual meaning that the intellect alone could recognize and seek to fathom, were already prevalent factors in the interpretation of the Roman worldview. No doubt other forms of philosophy that recognized the spiritual significance of nature, a contemplative intellectualism or metaphysics, still existed in both the Greek and Roman worlds, but Aristotelianism held sway over the rest, so that by the time Christianity appeared on the scene pure rationalism and naturalism had already dominated the life and mind of the Latin peoples. Christianity itself came under the influence of this naturalistic portrayal of nature devoid of symbolic significance, and reacted to this influence by demeaning the Kingdom of Nature and neglecting serious contemplation of it in favour of the Kingdom of God having no connection whatever with the world of nature.

Al-Attas seterusnya melihat bahwa Kristian Barat adalah mangsa kepada Aristotelianism, dan pada gilirannya agama Kristian itu sendiri bertanggung jawab terhadap orang-orang Barat yang kelak meragui agama wahyu. "Christianity was ultimately blamed as having forfeited the confidence of Western man in 'revealed' religion."

Berbeda dengan al-Attas yang melihat Kristen sebagai mangsa, al-Qaradawi berpendapat bahwa agama Kristen memang semenjak asalnya, yaitu berdasarkan kitab sucinya, telahpun sejalan dengan filsafat Aristotle. Al-Qaradawi berkata:

Ini jelas berdasarkan perkataan al-Masih, 'alayhi al-salam, sepertimana diriwayatkan dalan Injil 'Berikanlah apa yang milik Kaisar untuk Kaisar, dan apa yang milik Tuhan untuk Tuhan'! Ini disandarkan juga kepada sejarah pemikiran Barat yang tidak mengenal Tuhan dengan Tuhan yang dikenal oleh kita kaum Muslimin; iaitu Tuhan yang meliputi segala sesuatu, yang mengatur setiap urusan, yang tampak baginya sesuatu yang tersembunyi, yang tidak terhindar dari ilmu-Nya walaupun sebutir atom, baik di langit atau di bumi, yang Rahmat dan Ilmu-Nya merangkumi setiap sesuatu, yang menghitung setiap sesuatu akan bilangannya, yang menjadikan setiap sesuatu berdasarkan ukurannya, yang mengutuskan Rasul sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, yang ada bersamanya Kitab dan kebenaran, untuk memberikan penghukuman diantara manusia terhadap apa-apa yang mereka perselisihkan. Adapun Tuhan dalam dalam pemikiran Barat adalah tuhan yang lain, seperti tuhan Aristotle yang tidak mengetahui sesuatu selain dirinya sendiri, dan tidak mengetahui apa-apa yang terjadi di alam, yang tidak menngatur, dan tidak menggerakkan yang diam. Dan tuhan ini, seperti kata ahli sejarah tamaddun dan falsafah, Will Durant, adalah tuhan yang miskin, persis seperti raja Inggeris yang punya kuasa milik, tetapi tidak mempunyai kuasa hukum!

Perbedaan al-Attas dan al-Qaradawi dalam memberikan penekanan kepada kesan sekularisme terhadap kaum Muslimin, yaitu kesan terhadap pemikiran dan kesan terhadap amalan, pada gilirannya membawa al-Attas kepada bahaya sekularisme sebagai philosophical program, dan membawa al-Qaradawi kepada bahaya sekularisme sebagai penghalang pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara umat Islam. Al-Attas melihat pengaruh buruk sekularisme pada jiwa individu Muslim, sedang al-Qaradawi melihat kesan buruk itu pada perilaku masyarakat Islam. Walaupun begitu hal ini tidak bermakna bahwa al-Attas atau al-Qaradawi itu mengambil sikap "individualist" atau "populist". Kedua-dua mereka tetap mengakui keterkaitan antara individu dan masyarakat, dan sama sekali tidak terperangkap dengan ide "either-or." Oleh kerana masyarakat terdiri daripada individu-individu, marilah kita lihat terlebih dahulu analisis al-Attas berkenaan dengan proses sekularisasi itu sendiri pada individu dan kesannya pada masyarakat juga.

Seperti yang telah dipetik di atas, proses sekularisasi yang berlaku dalam alam fikiran seseorang, dan kesannya terhadap masyarakat, berjalan menerusi tiga komponen terpadu, iaitu:
(1)disenchantment of nature (alam dikosongkan dari semua makna spiritual);
(2)desacralization of politics (politik tidaklah sakral);
(3)deconsecration of values (penyingkiran nilai-nilai agama dari kehidupan).

Pemaparan ketiga-tiga proses itu adalah sebagai berikut:
Pertama, pada pengosongan alam dari makna ruhani, sehingga memisahkan alam dari Tuhan, dan membedakannya dari insan, agar dapat kononnya insan melihatnya bukan lagi sebagai alam yang mempunyai hubungan maknawi dengan Tuhan, niscaya dapat dia seterusnya bebas berleluasa mempergunakan alam itu menurut kehendak rencana serta keperluannya. Dengan demikian pula dapat dia mewujudkan perubahan sejarah yang membawa 'perkembangan' dan 'pembangunan'.

Kedua, menyingkirkan segala pengesahan terhadap kekuasaan dan kewibawaan politik yang berdasarkan sumber-sumber ruhani dan agama, sehingga penyingkiran itu merupakan suatu prasyarat bagi menimbulkan perubahan politik, dan seterusnya perubahan masyarakat, yang membolehkan timbulnya gerakan perubahan sejarah.

Ketiga, nilai relatifitas, yang senantiasa akan berubah, terhadap segala ciptaan kebudayaan dan tiap rencana-bentuk penilaian, termasuk rencana-bentuk penilaian agama dan pandangan alam yang mempunyai tujuan akhir yang tetap dan makna hidup yang dituju, sehingga dengan demikian kononnya dapat sejarah dan masa hadapan itu 'terbuka' bagi perubahan, dan dapat insan itu 'bebas' untuk membuat perubahan sekehendak hasratnya, serta dapat dia memesrakan dirinya dengan perubahan itu sebagai menunaikan gerakan 'evolusi'.

Walaupun ada teologis Barat yang membedakan antara sekularisasi (secularization) dan sekularisme (secularism), yang mana bagi mereka yang pertama, iaitu secularization, merujuk kepada ketiga-tiga proses di atas secara umum dan karenan boleh disifati sebagai 'pandangan alam yang sentiasa terbuka', dan yang kedua pula, yaitu secularism, merujuk kepada ideologi yang terhasil dari proses-proses di atas, tanpa menafikan kesemua nilai-nilai yang dipegangnya (it never quite deconsecrates values) dan karenanya disifati sebagai 'pandangan alam yang sudah tertutup', al-Attas walaubagaimanapun menegaskan bahwa perbedaan itu hanyalah bersifat academic semata-mata yang tidak berbeda diperingkat practical, terutama dari sudut pertentangannya dengan pandangan hidup Islam. Bahkan menurut beliau, secularization itupun sebenarnya adalah satu ideologi yang boleh dipanggil secularizationism.

Irrespective of the academic distinction made between the 'open' worldview projected by secularizationism on the one hand, and the 'closed' worldview projected by secularism on the other, both are equally opposed to the worldview projected by Islam. As far as their opposition to Islam is concerned we do not find the distinction between them significant enough for us to justify our making special distinction between them from the point of view of practical judgment....So in this book, therefore, and particularly with reference to its title: Islam and Secularism, the term secularism is meant to denote not merely secular ideologies such as, for example, Communism or Socialism in its various forms, but encompasses also all expressions of secular worldview including that projected by secularization, which is none other than a secular historical relativism which I have called secularizationism.

Menurut al-Attas, sekularisme sebagai satu philosophical program, dengan pandangan hidup Islam. Walaupun mengakui adanya kedua-dua jenis sekularisme di atas, al-Attas dalam karyanya Islam and Secularism lebih menekankan sekularisme yang bukan merupakan pandangan rasmi sesebuah negara. Al-Qaradawi pula, dengan karyanya al-Islam wa al-'Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin, di sisi lain, lebih menekankan sekularisme dalam bentuknya sebagai pandangan resmi sesebuah negara, tanpa menghuraikan perbedaan-perbedaan 'academic' yang diutarakan al-Attas. Al-Qaradawi lebih menumpukan kepada 'practical judgment' yang berkesimpulan bahwa sekularisme dalam bentuk apapun bertentangan dengan Islam, baik dari segi akidah dan juga syariah; dan beliau seterusnya banyak menguraikan isu-isu syariah, terutamanya mengenai pelaksanaan syariah di negeri-negeri Muslim yang ditentang oleh sekularisme sebagai sebuah ideologi. "Sesungguhnya sekularisme adalah 'komoditi Barat' yang tidak akan tumbuh di bumi kita," kata al-Qaradawi, yang selanjutnya memberi contoh pelaksanaannya di negara Turki. Beliau menerangkan:

Negeri Islam yang muncul yang diperintah oleh sekularisme, yang melaksanakan rancangan-rancangannya, yang memukul dengan tangan besi siapa saja yang menentangnya, yang dengan semua itu telah melibatkan lautan darah, adalah Turki, yang merupakan negeri khilafah Islamiah yang terakhir. Ia telah ditakluk oleh Ataturk untuk merealisasikan model Barat dalam semua aspek kehidupan, sama ada dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, pengajaran, dan kebudayaan. Negeri ini telah dicabut dari warisannya, nilainya, dan tradisinya sebagaimana dicabutnya kambing sembelihan dari kulitnya. Negeri ini juga telah menegakkan perlembagaan sekular (la diniyyan) yang memisahkan agama dengan kehidupan secara total, yang berdiri di atas asasnya undang-undang yang sangat ganas terhadap Islam, termasuklah dalam urusan kekeluargaan dan pribadi.

Adakah mampu Ataturk dan para pemimpin selepasnya, yang memiliki perlembagaan dan undang-undang, sistem pendidikan dan media massa, tentara dan polis, dan dibelakang mereka pula Barat dengan segala kekuasaan dan kekuatannya, untuk mencabut akar pemikiran Islam, emosi keislaman, aspirasi-aspirasi Islam, dan nilai-nilai Islam dari kehidupan bangsa Turki yang Muslim?

Tidak, seribu kali tidak. Fakta telah menunjukkan; siapa saja yang mengunjungi negeri Turki pada tahun-tahun kebelakangan ini telah menyaksikan masjid-masjid yang dipenuhi oleh orang-orang yang bersembahyang dari tiap-tiap generasi usia, sekolah-sekolah al-Qur'an yang berjumlah ribuan, lembaga-lembaga pendidikan para imam dan ahli-ahli pidato yang banyak, dan tersebarnya buku-buku Islam, serta keadaan orang-orang Turki sendiri, termasuk yang tinggal di Jerman dan negeri-negeri lain di Eropah, semuanya menjadi fakta (akan kegagalan sekularisme di negeri Islam).

Oleh karena itu, al-Attas dan al-Qaradawi sepakat bahawa sekularisasi dan sekularisme baik sebagai satu pemikiran, yang dalam istilah al-Attas sebagai philosophical program, atau sebagai satu ideologi negara, kedua-duanya sama-sama bertentangan dengan Islam. Al-Attas sekali lagi menegaskan:Not only is secularization as a whole the expression of an utterly unislamic worldview, it is also set against Islam, and Islam totally rejects the explicit as well as implicit manifestation and ultimate significance of secularization; and Muslims must therefore vigorously repulse it wherever it is found among them and in their minds, for it is as deadly poison to true faith (iman).

Al-Qaradawi dengan semangat yang sama telah menolak sesetengah pemikir yang membagi sekularisme kepada kepada sekularisme yang neutral/moderat dan sekularisme yang agresif memusuhi Agama. Beliau mengatakan:Menurut hemat penulis, yang namanya sekularisme itu tidak ada yang bersikap netral terhadap agama karena memisahkan agama dari arena kehidupan manusia bukanlah suatu kenetralan justru [malah] suatu sikap memusuhi agama. Sikap ini justru [malahan] berpijak kepada tuduhan bahawa agama itu berbahaya, oleh karena itu harus disingkirkan. Pendidikan, pengajaran, kebudayaan, ilmu, undang-undang dan tradisi harus terpisah dari agama. Ini berarti tidak netral dan tidak disebut pasif.

Pernyataan al-Qaradawi di atas sejajar dengan pandangan al-Attas yang menyatakan bahawa sekularisasi itu bersifat "as a whole". Disenchantment of nature, desacralization of politics, dan deconsecration of values yang dilakukan oleh secularization secara total memang merupakan suatu program yang extreme dan melampau. Dengan perkataan lain, sekularisme itu memang tidak bersifat neutral ataupun tawar kepada Islam. Walaupun begitu perlu disebutkan di sini bahwa analisis yang dibuat oleh al-Qaradawi terhadap hubungan Islam dan sekularisme adalah analisis yang bersifat hitam dan putih. Maksudnya, bagi al-Qaradawi Islam dan sekularisme itu tidak ada hubungan sama sekali, dan kalaupun ada maka hubungan itu adalah hubungan pertentangan. Berbeda dengan al-Attas, beliau melihat adanya kaitan antara Islam dengan sekularisme terutamanya pada peringkat 'style of action,' dalam proses Islamisasi dan sekularisasi. Bagi al-Attas, sekularisme dengan program sekularisasinya adalah merupakan tindak balas terhadap Islam yang melakukan program "proper disanchantment of nature," "proper desecralization of politics," dan "proper deconsecration of values" yang merupakan bagian dari unsur-unsur padu Islamization. Dari sudut inilah al-Attas melihat bahawa sekularisme itu adalah musuh dan penentang Islam, kerana sekularisme ingin menyapu habis semua nilai secara total, termasuk nilai Islam. Disinilah letak extreme-nya sekularisme dan sekularisasi. Beliau mengatakan:

We have said that secularization as a whole is not only the expression an utterly unislamic world view, but that is also set against Islam; and yet we have also pointed out that the integral components in the dimensions of secularization - that is, the disenchantment of nature, the desacralization of politics, and the deconsecration of values - when seen in their proper perpectives, indeed become part of the integral components in the dimensions of Islam,......simply be interpreted in their proper Islamic perspective as the integral components in the dimensions of islamization.

Jadi al-Attas tidak hanya membahas Islam dan sekularisme saja, seperti yang dilakukan al-Qaradawi, tetapi juga turut membicarakan islamisasi dan sekularisasi yang mengunakan 'style of action' yang sama. Jadi, dari pemaparan di atas, maka jelaslah bahwa walaupun ada beberapa kesamaan cara kerja islamisasi dan sekularisasi, Islam tetap berbeda dan bertentangan dengan sekularisme.

But it must be emphasized that the integral components which to the western world and Western man and Christianity represent the dimension of secularization, do not in the same sense represent themselves to Islam in spite of the fact that they exhibit great similarities in their 'style of action' upon man and history.

Kesimpulan al-Attas adalah:"...there can never really be an 'Islamic secularism'; and secularization can never really be a part of Islam."

Sama seperti kesimpulan yang dibuat oleh al-Attas, al-Qaradawi juga menegaskan bahawa Islam yang tertegak di atas akidah, ibadah, akhlak, dan undang-undang, akan sentiasa bertarung melawan sekularisme: Sekularisme menginginkan Islam menjadi pengikutnya [dan] bukan yang diikuti.

Oleh karena itu, Islam dan sekularisme selalu bertarung lebih dari satu aspek, Islam mesti bertarung dalam setiap sisi dari empat sisi ajarannya yang pokok, yakni akidah, ibadah, akhlak dan undang-undang.

Sebagai kesimpulan, al-Attas dan al-Qaradawi, banyak mempunyai sisi pandangan yang sama mengenai hubungan antara Islam dan sekularisme. Al-Attas sebagai pemikir Islam yang sejati, dan al-Qaradawi sebagai ahli hukum Islam yang berwibawa, sama-sama sepakat bahawa sekularisme itu bukan saja bertentangan dengan Islam, bahkan menentang Islam. Kepekaan kedua-dua ilmuwan Islam itu terhadap permasalahan umat yang mendasar, sekaligus menunjukkan bahwa isu sekularisme tidak boleh dianggap ringan oleh orang-orang Islam sendiri. Bahaya faham sekularisme dan faham sekularisasi, serta proses-prosesnya, sama ada diperingkat individu ataupun masyarakat, pribadi ataupun negara, sepatutnya menjadikan kita perlu berwaspada lagi terhadap faham-faham yang mengiringinya, walaupun dengan nama dan 'baju' yang baru, seperti ide perubahan (change), globalisasi (globalization), pembangunan (development), dan lain-lain.

0 ulasan: